jump to navigation

Kibr (Sombong dan Angkuh) April 3, 2015

Posted by makkawaru in Akhlak dan Tarbiyah.
add a comment

                                                 641Hadis H072

 

Sombong dan Angkuh [Kibr]

Syamsunar

Rasulullah Saw bersabda: Tidak akan masuk surga orang yang terdapat kibr (kesombongan dan keangkuhan) di hatinya meskipun sebesar biji bayam (Wasail Syiah, jld 11, hal 307).

 

Pengertian dan Derajat Kibr

Kibr adalah suatu kondisi kejiwaan dimana sipemiliknya merasa tinggi, besar, dan superior dalam berhadapan orang lain. Dan tindakan serta perbuatan yang keluar dari sifat kibr disebut takabbur (Imam Khomeni, Syarh-e Chel hadits, hal 79). Ghalibnya sifat rendah ini lahir dari sifat ujub, dimana seseorang mengira dirinya mempunyai kelebihan, keutamaan, dan kesempurnaan sehingga muncul perasaan bangga dan puas terhadap dirinya, yang mana kondisi kejiwaan internal ini dinamakan ujub. Berangkat dari kondisi inilah kemudian dia melihat orang lain serba memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan sehingga muncullah perasaan tinggi hati dan superior dalam berhadapan orang lain yang dinamakan dengan kibr (Ibid).

Manusia yang mempunyai sifat kibr boleh jadi bertingkat-tingkat, dari yg paling tinggi hingga derajat yang rendah. Kibr yang tertinggi adalah ketika seorang hamba sombong dalam berhadapan dengan Tuhannya, seperti kebanyakan pemimpin dan penguasa zhalim, menyusul kemudian kibr dalam berhadapan para Nabi as utusan Tuhan, para Imam Maksum as, dan para wali Tuhan lainnya. Derajat berikutnya adalah kibr dalam berhadapan perintah dan larangan Tuhan, selanjutnya kibr dalam berhadapan hamba-hamba Tuhan dimana dalam derajat ini juga bertingkat-tingkat sejauh kemuliaan yang dimiliki hamba-hamba tersebut disisi Tuhan, seperti ulama, guru, orangtua, dan lainnya.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa seorang sahabat Imam Jakfar as bertanya kepada beliau tentang paling rendahnya ilhad (berpaling dari Tuhan, mulhid artinya ateis), beliau berkata: Sesungguhnya kibr adalah paling rendahnya ilhad (Ushul Kafi, jld 2, hal 309).

Penyakit Kibr Dalam Kelompok Masyarakat

Tuhan berfirman: Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi degan angkuh. Sungguh, Allah tdk menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri (Qs: Luqman, ayat 18).

Dalam kehidupan masyarakat beragama terdapat kelompok-kelompok masyarakat sesuai degan disiplin ilmu dan profesinya, diantaranya terdapat kelompok ulama irfan atau tasauf, filosof, ahli fiqh dan hadits, serta profesi-profesi kerja sepeti dokter, insinyur, ekonom, budayawan, seniman, dan lainnya. Masing-masing diantara kelompok masyarakat tersebut terkadang terdapat semacam kibr dalam memandang lainnya, seperti sebagian ulama irfan memiliki pandangan bahwa diri merekalah pemilik syuhud dan mukasyafah serta makrifat tinggi sehingga paling layak dimuliakan dan diagungkan, degan kaca mata tersebut mereka memandang yang lainnya rendah.

Mereka memandang filosof dan teolog hanya mempunyai makrifat dalam batas kulit, ulama fiqh dan ahli hadits hanya sibuk dalam masalah lahiriah agama dan lalai dari masalah batin, serta memandang masyarakat pada umumnya layaknya binatang ternak yang hanya sibuk degan makan, minum, dan berketurunan.

Tentu model pandangan demikian tidak lahir dari ahli irfan hakiki, karena jika mereka benar-benar pemilik makrifat Ilahiah maka syuhud mereka terhadap ciptaan Tuhan adalah dalam bentuk manifestasi-manifestasi Ilahiah, dan ini malah akan memberikan sebentuk pandangan pada mereka untuk tidak sombong dan angkuh dalam berhadapan mazhar-mazhar Tuhan, sebab meremehkan ciptaan Tuhan akan berimplikasi tentunya pada peremehan sang pencipta.

Demikian juga dikalangan filosof, terkadang terdapat diantara mereka yang melihat bahwa hanya kalangan mereka pemilik makrifat yaqin degan burhan dan argumentasi logikal dan rasional, hanya mereka yang punya pengetahuan tentang Tuhan, malaikat, kenabian, dan alam akhirat yang benar, sedangkan yang lainnya tidak mempunyai makrifat yang cukup tentang masalah-masalah tersebut. Mereka mengobral kesombongan ilmu kepada yang lainnya dan menilai mereka tidak ubahnya anak kecil yang tidak memahami masalah-masalah pelik orang dewasa. Mereka lalai sekiranya benar-benar memahami mabda dan maad maka mereka mestilah memandang sama diri mereka degan yg lainnya, sebab selain Al-Wajib Ta’ala semuanya hanyalah imkan faqri, yakni ketidakberpunyaan dan kebergantungan itu sendiri pada yg Mahakaya, bukan sesuatu pemilik sesuatu dan tidak memiliki lainya. Tetapi identitasnya sendiri itulah yang identik dan sama degan kefakiran dan ketidakberpunyaan, sebagamana firman Tuhan: Wahai manusia, kamu semua adalah fuqaraa kepada Allah, dan hanya Allah yg Mahakaya dan Mahaterpuji.

Kibr yang terjadi dikalangan fuqaha biasanya berbentuk pandangan bahwa hanya kelompok mereka yang mendalami dan memahami agama, karena itu mereka merasa hanya golongan mereka yang benar menjalankan agama Tuhan, adapun ilmu-ilmu yang lain semuanya diluar ilmu agama; ilmu irfan sesat, ilmu kalam dan filsafat batil, dan lainnya. Mereka merasa memiliki otoritas tertinggi agama sehingga mereka tidak ditanya dalam perbuatannya dan hanya yang lain mesti dipertanyakan amalan dan perbuatannya. Terkadang mereka dengan pandangannya mempersempit surga untuk kelompok mereka, padahal bukankah mestinya surga sebagai rahmat Tuhan pintunya terbuka lebar bagi seluruh hamba-Nya dan sangatlah luas, sebagaimana dalam riwayat dan doa didapatkan ungkapan, Rahmat-Nya mendahului Murka-Nya, Rahmat-Nya meliputi segala sesuatu.

Berbeda lagi di luar lingkungan kelompok agama, kibr yang terdapat dalam kelompok masyarakat dikarenakan profesi, status sosial, banyaknya kekayaan, popularitas, dan lainnya. Mereka semua berbangga-bangga dan menyombongkan diri degan atribut-atribut iktibari yang mereka peroleh lewat kontrak sosial, padahal semuanya itu bukanlah perkara hakiki, setiap waktu bisa kehilangan dari diri mereka. Betapa banyak orang yang tadinya dieluk-elukkan karena jabatannya atau kekayaannya, tapi karena suatu sebab mereka tercampakkan dan bahkan jadi sampah masyarakat. Coba kita renungkan bersama untuk apa kita kibr dan sombong kepada orang lain, bukankah kita semuanya sama pemikul kotoran, sebagaimana sabda Imam Ali as: Saya heran terhadap anak keturunan Adam, awalnya adalah nutfah dan akhirnya adalah bangkai, serta diantara keduanya (nutfah dan bangkai) dia hanyalah wadah kotoran tai, lantas mengapa dia takabbur (Biharul Anwar, jld 73, hal 234).

Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa mereka yang di dunia ini kibr dan bersikap takabbur terhadap orang lain kelak akan merasakan kerendahan dan kehinaan, sebagaimana perkataan Imam Shadiq as: Sesungguhnya orang-orang takabbur akan dijadikan dalam bentuk semut lemah dan manusia akan menginjak-injaknya sampai Tuhan selesai dari perhitungan (Ushul Kafi, jld 2, hal 11, kitab iman dan kufur, bab kibr, hadits 11).

 

Terapi Amali Menjauhkan dan Menghilangkan Kibr

Mengerjakan pekerjaan sehari-hari seperti menyapu halaman, belanja dipasar rakyat, memberi salam pada orang, mengantar anak-anak kesekolah, membersihkan selokan rumah, antrian, dan lainnya dapat menjauhkan manusia dari kibr dan mengobati penyakit kibr. Pekerjaan-pekerjaan yang dari sudut pandang masyarakat tidak sesuai dengan kedudukannya serta kibr tidak mengizinkannya untuk mengerjakan pekerjaan seperti itu, mestilah ia lakukannya supaya ia terlepas dari penyakit qalbu yang sangat berbahaya ini. Rasulullah Saw bersabda: Niscaya menyenangkanku bahwasanya seseorang mengambil dan membawa sesuatu di tangannya (demi menjauhkan kibr darinya) untuk menggembirakan keluarganya.

Sebagai contoh teladan dalam masalah ini, Rasulullah Saw sendiri sangatlah tawadhu dalam kehidupannya dan sangatlah jauh dari sifat kibr. Ibnu Abbas ra berkata: Rasulullah Saw duduk diatas tanah dan makan diatas tanah serta mengikat domba dan memenuhi undangan hamba sahaya. Rasulullah Saw sendiri berkata tentang dirinya dalam sabdanya: Saya adalah seorang hamba dan saya makan sebagaimana seorang hamba makan dan saya duduk sebagaimana seorang hamba duduk (Makrimul Akhlak, hal 12).

Tidak ada jalan lain, untuk selamat dari murka Tuhan haruslah menjauhkan diri dari sifat kibr, dan jika terlanjur sudah terkena virus berbahayanya maka segeralah mengobatinya, demi untuk terhindar dari bencana besar yang akan menimpa, sebagaimana nasihat Imam Shadiq as pada sahabatnya: Takut dan jauhilah kibr, sebab kibr jubah khusus Tuhan, dan barang siapa yang menentang Tuhan dalam masalah itu maka Allah akan membinasakannya dan menghinakannya pada hari kiamat (Wasail Syiah, jld 11, hal 300). Semoga kita terhindar dan terjauhkan dari sifat dan penyakit radzilah ini.

 

 

 

Akal dan Wahyu April 3, 2015

Posted by makkawaru in Wacana.
add a comment

                                   641Hadis H074

 

 Akal dan Wahyu: Dua Jalan Menuju Agama

Oleh: Syamsunar

 

Jika kita ingin mengindentifikasi metode-metode pencapaian makrifat kepada Tuhan oleh setiap orang, maka bisa dikatakan bahwa setiap orang memiliki metode dan cara tersendiri dalam meraih makrifat tersebut. Oleh sebab itu dikatakan bahwa jalan-jalan menuju Tuhan sebanyak nafas makhluk yang ada di alam ini. Tetapi apabila kita ingin meninjau sisi yang sama dari jalan-jalan makrifat kepada Tuhan tersebut, maka terdapat beberapa pendekatan universal yang dapat mencakup semua manusia.

Di bawah ini terdapat beberapa metode dalam pencapaian makrifat kepada Tuhan, antara lain:

  1. Metode Argumentasi

Cara ini tersedia bagi setiap orang, sebab cara ini menggunakan premis-premis dan prinsip-prinsip rasionalitas dalam menetapkan eksistensi Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya. Yakni jalan ini menggunakan premis-premis logika serta metode-metode argumentasi yang murni bersandar pada kaidah akal dalam pembuktikan keberadaan Tuhan dan menetapkan sifat-sifat khusus yang layak bagi-Nya, seperti hidup, ilmu, hikmah, iradah, dan kuasa,  serta membersihkan-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak, seperti bermateri, beranak dan terbatas .

 

  1. Metode Kontemplasi

Manusia dalam perjalanan hidupnya senantiasa dipenuhi dengan rasa ingin tahu terhadap apa yang dihadapannya, karena itu apa saja yang disaksikannya membawanya kepada pengenalan lebih jauh dan lebih dalam. Dengan berpikir terhadap fenomena-fenomena alam yang disaksikannya serta hubungan satu sama lainnya bisa mengantarkannya pada penemuan akan keberadaan Pencipta dan sifat-sifat-Nya seperti ilmu, iradah, hikmah, dan kekuasaan. Jalan ini bersandar pada pengamatan dan penyaksian alam, sebab itu disebut jalan perenungan dan kontemplasi. Perlu diketahui bahwa jalan ini tidak dapat dicapai tanpa bantuan prinsip dan kaidah akal.

 

  1. Metode Fitrah dan Syuhudi

Jalan ini tidak dengan akal argumentasi dan juga tidak dengan kontemplasi alam tabiat. Manusia dengan hanya merujuk pada kedalaman batinnya, dia akan menemukan dan memperoleh makrifat Tuhan. Metode fitrah, mukasyafah irfani, dan jalan musyahadah kalbu termasuk dalam katagori jalan ini dalam menemukan Tuhan dan sifat Jalal dan Jamal-Nya. Jalan ini hanya terbuka bagi hati-hati yang bersih yang tidak dipenuhi dengan hawa nafsu, cinta materi, dan  duniawi, karena itu ia hanya bisa ditempuh dengan jalan tahdzib nafs dan pensucian jiwa. 

 

Cara syuhudi, jika ditinjau dari segi epistemologi memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari metode kontemplasi dan argumentasi di atas, sebab dalam syuhudi manusia mengenal Tuhan dengan ilmu huduri, sedangkan pada metode pertama dengan ilmu husuli. Cara ini dijalani dengan pembersihan dan pensucian nafs lewat pendisiplinan diri pada tingkatan-tingkatan spiritual hingga mencapai maqam syuhud dan penyaksian Tuhan dan dengan pandangan batin memandang sifat Jalal dan Jamal-Nya.

 

Defenisi Agama

Secara leksikal, agama yang dalam bahasa Arab disebut Din memiliki arti ajaran, penyerahan, balasan, dan ketaatan. Adapun arti Din bisa didefenisikan sebagai berikut: Din adalah seluruh rangkaian ilmu, makrifat, dan pengetahuan suci yang secara teoritis maupun praktis, yakni seluruh tinjauan dan pandangan terhadap pengamalan-pengamalan yang mengandung muatan suci [Reza shadeqi, Dar omad-e bar Kalâm-e Jadid, hal.28]. Tentu defenisi ini bersifat luas dan tidak terbatas pada satu agama, sebab seluruh agama mempunyai konsepsi-konsepsi dan praktek-praktek yang dipandang suci oleh para penganutnya. Adapun mengenai kebenaran ajaran suatu agama, hal tersebut menjadi bab pembahasan dalam sistem keyakinan dan kepercayaan secara teoritis dan praktis, dimana akal dapat menguji sejauh mana kebenaran serta kesesuaian agama tersebut dengan hakikat realitas. Misalnya pandangan Islam tentang Tuhan berbeda dengan Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Tao, Konghucu dan agama-agama lainnya. Manakah diantara agama-agama tersebut yang mempunyai pandangan dan keyakinan tentang Tuhan yang dapat dibuktikan kebenarannya dan bersesuaian dengan hakikat realitas yang ada?  

Jika definisi tersebut di atas dihubungkan dengan Islam maka agama berarti seluruh makrifat yang berkaitan dengan Tuhan yang terdapat dalam teks-teks Suci Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw.

Agama  dapat juga  didefenisikan sebagai berikut: Ketaatan mutlak dan balasan yang dijabarkan dalam bentuk keyakinan, akhlak, hukum-hukum, dan undang-undang yang berkaitan dengan individu dan masyarakat [Ayatullah Jawadi Amuli, Syari’at Dar Ayeneh-e Ma’rifat, hal. 111]. Agama-agama samawi adalah agama-agama yang berasal dari Tuhan yang diwahyukan kepada para Nabi dan Rasul as, sebab itu masalah dan persoalan agama ditetapkan berdasarkan wahyu dan berita-berita yang  diterima secara yakin. Tidak semua ajaran agama-agama seluruhnya benar dan juga sebaliknya, dan terkadang dalam beberapa ajaran bercampur antara benar dan batil. Jika keseluruhan ajarannya adalah benar maka disebut agama yang benar, dan begitu pula sebaliknya disebut agama yang batil atau percampuran antara benar dan batil [Ibid].

 

Tujuan Agama

Secara global agama dipandang sebagai jalan dan petunjuk menuju kebahagiaan dan kesempurnaan. Dalam hal ini, kita tidak berbicara tentang agama-agama secara umum, kita hanya berbicara berkaitan dengan agama Islam. Kita meyakini secara argumentatif bahwa hanya agama Islam yang secara utuh memiliki kebenaran, baik secara teoritis maupun praktis.

Kitab-kitab suci yang diturunkan Tuhan beserta Rasul dan Nabi-Nya, semuanya mengajak manusia menyembah Tuhan dan mengesakan-Nya, berbuat baik kepada manusia dan menegakkan keadilan. Jelaslah agama dalam hal ini merupakan hidayah Tuhan Yang Maha Pengasih. Dan Tuhan juga memberi petunjuk pada manusia dalam rangka menyampaikan mereka kepada kebahagiaan di dunia dan kesempurnaan di akhirat. Yakni tujuan agama dalam konteks ini adalah memberi hidayah dan petunjuk kepada manusia, mengaktualkan potensi manusia dan mengangkat manusia ke maqam kedekatan Tuhan.

Hakikat agama adalah kebahagiaan, kedamaian dan kemenangan seluruh umat manusia. Agama adalah jalan mencapai puncak tujuan penciptaan dan puncak kesempurnaan manusia. Agama bertujuan mengangkat manusia dari alam materi yang rendah menuju ke alam malakuti yang tinggi. Agama berkeinginan membantu manusia menyelesaikan berbagai problematika di dunia ini. Agama ingin menghilangkan ketakutan manusia kepada kematian dengan memberikan harapan kepada kehidupan abadi. Agama ingin mendekatkan manusia kepada Tuhan Penciptanya.

 

Fitrah Manusia

Kata fitrah secara leksikal bermakna watak ciptaan suatu maujud, namun dalam istilahnya mempunyai pengertian yang bermacam-macam. Dan yang kita maksudkan dari pada fitrah disini adalah sisi-sisi universal yang terdapat pada manusia dan mendasari sifat dan kecenderungan hakiki manusia dalam menerima agama dan penyembahan kepada Tuhan.

Adapun mengenai fitrah manusia kepada Tuhan dan agama terdapat tiga pandangan:

  1. Membenarkan keberadaan Tuhan merupakan pengetahuan yang bersifat fitrah manusia. Fitrah dalam pengertian ini adalah fitrah akal yang berhubungan dengan sistim pengenalan dan pengetahuan manusia.
  2. Manusia secara hudhuri dan syuhudi memiliki pengetahuan kepada Tuhan, dan manusia berdasarkan potensinya masing-masing mendapatkan pengetahuan hudhuri dari Tuhan tanpa perantara.
  3. Fitrah manusia kepada Tuhan adalah kecenderungan alami dan esensi yang terdapat dalam diri manusia, yakni kecenderungan dan keinginan kepada Tuhan merupakan hakikat penciptaan manusia.

Syahid Murtadha Muthahari dalam mengomentari pandangan pertama  berkata: Sebagian orang yang berpandangan tentang kefitrahan pengetahuan kepada Tuhan yang mereka maksud dalam hal ini adalah fitrah akal. Mereka berkata bahwa manusia berdasarkan hukum akal yang bersifat fitrah tersebut tidak membutuhkan premis-premis argumentasi dalam menegaskan wujud Tuhan. Dengan memperhatikan tatanan eksistensi dan keteraturan segala sesuatu, maka otomatis dan tanpa membutuhkan argumen, manusia mendapatkan keyakinan tentang keberadaan Sang Pengatur yang Maha Perkasa [Murtadha Muthahhari, Majmu’e âtsar, jilid 6, hal.934].

Pandangan kedua tentang fitrah adalah manusia secara fitrah mempunyai pengetahuan hudhuri kepada Tuhan, bukan dengan ilmu hushuli yang diperoleh lewat argumentasi akal. Yakni manusia mempunyai hubungan yang dalam dan hakiki dengan Penciptanya, dan ketika manusia memandang ke dalam dirinya, dia akan menemukan hubungan tersebut. Karena kebanyakan manusia sibuk dengan kehidupan materi, maka dia tidak mendapatkan hubungan dengan Penciptanya. Tapi manusia pada saat memutuskan hubungannya dengan kesibukan-kesibukan kehidupan dunia, atau saat manusia kehilangan harapan dari sebab-sebab materi, barulah manusia merasakan hubungan tersebut yang terdapat dalam dirinya.

Fitrah dalam pandangan ketiga juga bukan fitrah akal atau pengetahuan hushuli yang sederhana, tetapi yang dimaksud adalah fitrah qalbu. Syahid Muthahari berkata:Fitrah qalbu adalah manusia secara khusus diciptakan berkecenderungan dan berkeinginan kepada Tuhan. Dalam diri manusia telah diletakkan suatu bentuk instink pencarian Tuhan, kecenderungan kepada Tuhan, cinta dan penyembahan kepada Tuhan, sebagaimana instink kerinduan kepada  ibu dalam watak seorang anak [Ibid].

Anak-anak yang baru dilahirkan meskipun belum memahami makna kesadaran nyata tetapi terdapat dalam dirinya apa yang tidak disadarinya berupa kecenderungan kepada ibu dan kerinduan padanya. Dalam wujud manusia terdapat kecenderungan seperti ini, suatu kecenderungan agung dan tinggi, yakni kecenderungan penyembahan dan kecenderungan kepada Tuhan. Kecenderungan inilah yang membawa manusia ingin berhubungan dengan suatu hakikat yang tinggi dan ingin dekat kepada hakikat tersebut serta mensucikannya. Fitrah manusia yang telah diciptakan Tuhan dan diletakkan pada diri manusia dalam bentuk tabiat penciptaan, dengan tabiat tersebut  manusia menerima agama dan menyembah dan mencintai Tuhan.

 

Makna dan Pengertian Akal

Akal dalam bahasa arab bermakna mencegah dan menahan, dan ketika akal dihubungkan dengan manusia maka bermakna orang yang mencegah dan menahan hawa nafsunya. Selain itu akal juga digunakan dengan makna pemahaman dan tadabbur. Jadi akal dari segi leksikalnya bisa bermakna menahan hawa nafsu sehingga dapat membedakan antara benar dan salah, juga bisa bermakna memahami dan bertadabbur sehingga memperoleh pengetahuan.

Akal dalam istilah mempunyai makna yang bermacam-macam dan banyak digunakan dalam kalimat majemuk, dibawah ini macam-macam akal, antara lain:

– Akal instink : Akal manusia di awal penciptaannya, yakni  akal ini masih bersifat potensi dalam berpikir dan berargumen [Dr. Sajjadi, Farhang-e Ulum Falsafah wa Kalam, hal.496];

– Akal teoritis : Akal yang memiliki kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang ada dan tiada (berkaitan dengan ontology), serta dalam hal tindakan dan etika mengetahui mana perbuatan yang mesti dikerjakannya dan mana yang tak pantas dilakukannya (berhubungan dengan ilmu fiqih dan akhlak);

– Akal praktis : Kemampuan jiwa manusia dalam bertindak, beramal dan beretika sesuai dengan ilmu dan pengetahuan teoritis yang telah dicerapnya;

– Akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi yang dikenal dan niscaya diterima oleh semua orang karena logis dan faktual [Khusro panoh, Kalam-e Jadid, hal.64];

  1. Juga akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi yang pasti dalam membentuk premis-premis argumen dimana meliputi proposisi badihi (jelas, gamblang) dan teoritis [Ibid];
  2. Akal substansi: sesuatu yang non materi dimana memiliki zat dan perbuatan.

Tentu yang kita maksudkan dalam pembahasan agama dan akal disini adalah akal yang  berfungsi dalam argumentasi dan burhan dimana didasarkan atas proposisi-proposisi yang pasti dan jelas, sehingga nantinya dapat diketahui bahwa pengetahuan-pengetahuan yang bersifat pasti dan filosofis (argumentasi filsafat) tidak memiliki kontradiksi dengan doktrin-doktrin suci agama.

 

Makna dan Pengertian wahyu

Wahyu merupakan kata yang tidak dapat dipisahkan dari agama-agama langit, sebab wahyu Tuhan merupakan dasar dan prinsip yang membentuk  suatu agama samawi.

Ragib Isfahani dalam menjelaskan pengertian wahyu secara literal berkata: Akar kata wahyu bermakna isyarat cepat, oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilakukan dengan cepat disebut wahyu. Dan ini bisa berbentuk ucapan bersandi dan berkinayah, atau tidak dalam bentuk kata-kata tapi berbentuk isyarat dari bagian anggota-anggota badan atau dalam bentuk tulisan [Isfahani, Mufradat al-fâz al-Quran, hal.858].

Adapun wahyu menurut istilah adalah terbentuknya hubungan spiritual dan gaib pada setiap Nabi ketika mendapatkan pesan-pesan suci dari langit [Sayyid Mahdi, Darsnom-e ulumul Quran, hal.61].

Wahyu bukanlah sejenis ilmu hushuli yang didapatkan lewat mengkonsepsi alam luar dengan panca indera dan akal pikiran, tetapi wahyu adalah sejenis ilmu hudhuri, bahkan wahyu merupakan tingkatan ilmu huduri yang paling tinggi. Wahyu adalah penyaksian hakikat dimana hakikat tersebut merupakan pilar dan hubungan hakiki eksistensi manusia, manusia dengan ilmu hudhuri mendapatkan hubungan eksistensi dirinya dengan Tuhan dan kalam Tuhan, sebagaimana manusia mendapatkan dirinya sendiri [Ayatullah Jawadi Amuli, Din Syenosi, hal.241].

 

Batasan Akal dan Wahyu

Tidak diragukan bahwa akal memiliki  kedudukan dalam wilayah agama, yang penting dalam hal ini menentukan dan menjelaskan batasan-batasan akal, sebab kita meyakini bahwa hampir semua kaum muslimin berupaya dan berusaha mengambil manfaat akal dalam pengajaran agama dan penjelasan keyakinan agama secara argumentatif. Para filosof Islam dalam hal ini juga  berusaha menjelaskan batasan antara akal dan syariat (hukum-hukum agama). Al-Kindi (lahir 185 H), filosof Islam pertama yang mendalami filsafat dan  terlibat dalam penerjemahan karya-karya filsafat adalah tokoh yang sangat memperhatikan masalah tersebut. Dia berupaya menerangkan kesesuaian akal dan wahyu, antara filsafat dan syariat. Menurut keyakinan dia, jika filsafat adalah ilmu yang mendalami hakikat-hakikat realitas sesuatu, maka mengingkari filsafat identik mengingkari hakikat sesuatu, yang pada akhirnya menyebabkan ketidaksempurnaan pengetahuan. Oleh sebab itu, tidak ada kontradiksi antara agama dan filsafat. Dan jika terdapat kontradiksi secara lahiriah antara wahyu dan pandangan-pandangan filsafat, maka cara pemecahannya adalah melakukan penafsiran dan ta’wil terhadap teks-teks suci agama. Metode ini dilanjutkan dan diteruskan oleh Al-Farabi.

Al-Farabi juga berpandangan bahwa agama dan filsafat sebagai dua sumber pengetahuan yang memiliki satu hakikat. Dia menafsirkan kedudukan seorang Nabi dan filosof berdasarkan empat tingkatan akal teoritis (akal potensi, akal malakah, akal aktual, dan akal mustafad) dimana Nabi mencapai kedudukan akal mustafad (tingkatan akal paling tinggi) dan seorang filosof mencapai kedudukan akal actual. Jadi perbedaan nabi dan filosof sama dengan perbedaan kedua akal tersebut, akal mustafad lebih tinggi dari akal aktif.

Ibnu Sina membagi dua filsafat yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Poin penting dalam pandangan Ibnu Sina tentang hubungan akal dan wahyu adalah pandangannya tentang dasar pembagian filsafat praktis dimana berpijak pada syariat Ilahi. Ibnu Sina berkata, ” … filsafat praktis (al-hikmah al–amaliyyah) dibagi dibagi menjadi  pengaturan negara (al-hikmah al-madaniyyah), pengaturan keluarga (al-hikmah al-manziliyyah), dan akhlak atau etika (al-hikmah al-khulqiyyah), ketiga bagian ini didasarkan pada syariat Tuhan dan kesempurnaan batasan-batasannya dijelaskan dengan syariat serta pengamalannya sesudah manusia memperoleh pengetahuan teoritisnya terhadap undang-undang dan rincian pengamalannya” [Ibnu Sina, Rasaail fi al-hikmah wa al-tabi’iyyaah, hal.23-24].

Sebagaimana kita lihat dalam perkataan Ibnu Sina tersebut bahwa dia memandang sumber dan dasar pembagian-pembagian filsafat praktis berpijak pada syariat Tuhan dan dia juga memandang bahwa batas-batas kesempurnaan pembagian tersebut ditentukan oleh syariat.

Pandangan-pandangan para filosof Islam tersebut menjelaskan tentang wilayah dan batasan akal terhadap wahyu, dimana akal menentukan dan mendefinisikan hal-hal universal yang berhubungan dengan pandangan dunia agama, dan adapun hal-hal yang bersifat partikular dan pengamalannya ditentukan oleh agama itu sendiri. Tujuan agama dan kemestian manusia untuk beragama serta penentuan agama yang benar dibebankan pada kemampuan akal. Akal tidak memahami masalah-masalah seperti dari mana manusia datang, tujuan hakiki kehadiran dia, cara dia berterima kasih kepada Pencipta, kemana manusia setelah meninggal, dan bagaimana bertemu Tuhannya, tetapi  akal memahami bahwa pertanyaan-pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh agama (dalam pengertian khusus) dan bukan tanggung jawab serta diluar kemampuan akal pikiran manusia.

Oleh karena itu, secara umum manusia menyaksikan bahwa masalah-masalah tersebut merupakan batasan dan wilayah agama, dan hanya agama yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sementara secara detail akal tidak mampu menjawabnya. Dengan demikian, untuk memperoleh jawaban secara mendetail dan terperinci dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tak ada cara lain selain merujuk kepada agama dan syariat suci Tuhan.

Konklusi dari pembahasan ini adalah akal memiliki kemampuan dalam membangun argumentasi yang kokoh tentang pandangan dunia agama, tetapi akal tak mampu memahami secara partikular dan mendetail batasan dan tujuan hakiki agama. Oleh sebab itu, manusia harus merujuk kepada agama dan syariat (wahyu) yang diturunkan Tuhan lewat Nabi-Nya.

 

Kesesuaian Akal dan Wahyu

Jika kita berbicara tentang segala ciptaan Tuhan, maka akal dan wahyu juga merupakan dua realitas ciptaan Tuhan.

Tuhan mengutus Nabi-nabi disertai wahyu dan agama untuk memberi hidayah umat manusia, dan Tuhan menciptakan akal manusia. Akal adalah salah satu fenomena diantara fenomena-fenomena alam yang ada. Tuhan adalah Pencipta akal dan Tuhan juga merupakan sumber syariat dan agama (wahyu). Jadi akal dan wahyu berasal dari Tuhan dan berujung pada satu hakikat yang tinggi dan suci.

Dalam teologi Islam ada konsep “kebaikan dan keburukan dalam timbangan akal” (husn wa qubh al-aql), artinya akal dapat menetapkan dan menilai berbagai perbuatan dan tindakan, serta menghukumi baik dan buruknya atau benar dan salahnya. Akal menetapkan perbuatan baik seperti keadilan, kejujuran, balas budi, menolong orang-orang yang dalam kesulitan dan kemiskinan, dan juga menilai perbuatan buruk seperti kezaliman, menganiaya dan merampas hak dan milik orang lain. Dalam konteks ini, akal dengan tanpa bantuan wahyu dapat menunjukkan kepada manusia mana keadilan dan kezaliman, kejujuran dan kebohongan. Dalam hal ini juga syariat Tuhan menegaskan dan memberi hidayah kepada manusia supaya tidak mengingkari keputusan akal. Oleh sebab itu, jika husn wa qubh al-aql ini dinafikan, maka syariat tidak dapat ditetapkan. Khojah Nasiruddin Thusi berkata, “Baik dan buruk dalam mizan akal (husn wa qubh al-aql) secara mutlak tertegaskan, karena keduanya berkaitan erat dalam keberadaan dan keabsahan syariat” [Nashir al-din Thusi, Kasyf al-Murad fi Syarh al-Tajrid al-I’tiqad, hal.423].  Artinya jika akal tidak dapat menetapkan kebaikan dan keburukan, maka syariat juga tak dapat ditetapkan, karena dusta misalnya jika menurut akal tidaklah buruk, maka manusia tidak bisa menilai perkataan jujur para Nabi-nabi as adalah baik. Manusia juga tidak dapat mengetahui bahwa para Nabi dan Rasul as pasti tidak bohong. Jika manusia mengetahui dari syariat bahwa para nabi pasti berkata jujur dan kejujuran adalah sifat yang mulia, maka muncul masalah bahwa syariat yang belum diketahui apakah hasil dari perkataan jujur atau bohong, sehingga dipercayai kejujuran dan kebenarannya. Yang pasti jika baik dan buruk dalam pandangan akal dinafikan, maka sangat banyak hal dan masalah yang dipertanyakan keabsahan dan kebenarannya, hatta syariat itu sendiri.

Dari tinjauan tersebut di atas, tidak bisa  dikatakan bahwa akal dan syariat di alam realitas saling berlawanan dan kontradiksi. Para ulama ushul fiqih mazhab Syi’ah Itsna Asyariyah (dua belas imam) memiliki konsep dan pandangan dalam bentuk sebagai berikut: Tuhan adalah pencipta akal dan pemimpin masyarakat berakal, serta Dia pulalah yang menganugrahkan wahyu dan agama untuk manusia, maka  tidak mungkin wahyu dan agama tidak sesuai dengan akal, dan jika tidak ada kesesuaian maka akan terjadi inner kontradiksi dalam ilmu Tuhan. Oleh karena itu, kita meyakini bahwa tidak terdapat kontradiksi antara akal dan wahyu, dan antara rasionalitas dan agama.

Diakhir pembahasan ini kami akan menyajikan perkataan Mulla Sadra, salah seorang filosof besar Islam dan pendiri hikmah muta’aliyah, dimana Filsafatnya mencerminkan pengaruh timbal balik akal dan wahyu. Dia berusaha semaksimal mungkin membangun filsafatnya dari kekuatan akal dan kesucian wahyu.  

Jika kita tinjau hubungan antara muatan wahyu dan proposisi akal, maka hubungan tersebut bisa dibagi menjadi tiga bagian:

  1. Muatan wahyu sesuai dengan akal;
  2. Muatan wahyu lebih tinggi dari akal;
  3. Muatan wahyu kontradiksi dengan akal.

Menurut keyakinan Mulla Sadra, wahyu hakiki dan pesan hakiki Tuhan tidak kontradiksi dengan proposisi akal. Dalam tinjauan tersebut, dia berkata: Maka kami bawakan dalil kuat yang berkaitan dengan topik ini, sehingga diketahui bahwa syariat dan akal memiliki kesesuaian sebagaimana dalam hikmah-hikmah lainnya, dan mustahil syariat Tuhan yang benar dan hukum-hukum-Nya berbenturan dan bertentangan dengan makrifat-makrifat akal dan argumentasi rasional, dan binasa bagi filsafat yang teori-teorinya tidak sesuai dengan kitab suci Tuhan dan sunnah Nabi-Nya [Mulla Sadra, Al-Asfar, jilid 9, hal.303]. Menurut Mulla Sadra, hukum-hukum agama yang penuh dengan cahaya suci Tuhan mustahil bertentangan dan bertolak belakang dengan pengetahuan-pengetahuan universal akal, filsafat yang benar tidak mungkin teori-teorinya bertentangan dengan kitab suci Tuhan dan sunnah Nabi-Nya. Dia berkeyakinan bahwa filsafat yang benar dan hakiki adalah filsafat yang memiliki korelasi dengan  wahyu suci Tuhan. Secara prinsip, filosof yang perkataannya menyalahi agama bukanlah filosof hakiki. Dia berkata: Dan barang siapa yang agamanya bukan agama yang dianut oleh para Nabi as, maka pada dasarnya dia tidak mendapatkan sedikitpun bagian dari hikmah [Mulla Sadra, Al-Asfar, jilid 5, hal.205].  Artinya, para filosof yang agamanya bukan agama para Nabi as, maka dia tidak mengambil manfaat sama sekali dari filsafat.

Dari perkataan Mulla Sadra di atas, dapat disimpulkan bahwa  dia berusaha membela gagasan kesesuaian akal dan wahyu, filsafat dan syariat, dan menolak adanya kontradiksi diantara keduanya.  

 

 

 

Syukur Nikmat VS Kufur Nikmat April 3, 2015

Posted by makkawaru in Akhlak dan Tarbiyah.
add a comment

Syukur Nikmat vs Kufur Nikmat

“Jika engkau bersyukur, niscaya Aku tambahkan (nikmat-Ku) kepadamu, akan tetapi jika engkau kufur atasnya, sesungguhnya azab-Ku sangatlah pedih (Qs; Ibrahim, ayat 7).

Amirul Mukminin Ali as: Ketika dimensi-dimensi nikmat sampai kepadamu janganlah engkau memutuskannya dengan sedikit bersyukur (Hikmah 13).

Penjelasan: Dalam hikmah ini Amirul Mukminin as menjelaskan bahwa syarat langgengnya nikmat Tuhan (nikmat maknawi dan materi) adalah memperbanyak syukur kepada-Nya atas nikmat sebelumnya. Sebagaimana ayat Al-Qur’an menegaskan bahwa jika manusia bersyukur niscaya Tuhan akan menambahkan nikmat-Nya kepadanya (Surah Ibrahim, ayat 7). Dengan demikian jelaslah bahwasanya salah satu penghalang turunnya rahmat dan nikmat Ilahi adalah kufur nikmat, yakni ketiadaan syukur hamba terhadap nikmat Ilahi. Di samping itu sebagaimana yang dijelaskan dalam berbagai riwayat, penghalang lain turunnya rahmat dan nikmat Tuhan adalah dosa dan maksiat yang dilakukan manusia. Imam Shadiq as berkata: Seorang mukmin melakukan dosa, dan karena dosanya itu maka ia tidak dapat bagian rezki (Bihar, jld 73, hal 349).

 

Tingkatan-tingkatan Syukur

1.Syukur Lisan: Memuji Tuhan dan bertasbih degan lidah dan lisan. Apa saja bentuknya dan dalam keadaan apapun dzikir memuji Tuhan degan lidah disebut juga dzikir lisan.

Membiasakan lidah mengucapkan syukur ketika mendapatkan nikmat merupakan kebiasaan terpuji degan syarat muncul dar hati yang paling dalam dan bukan sekedar ucapan-ucapan lidah saja.

  1. Syukur Qalbu: Memperhatikan nikmat-nikmat Ilahi dan memutuskan untuk bersyukur kepada Tuhan yang disebut syukur qalbu dan pikiran. Adapun pikiran yang tidak mmperhatikan pemberian-pemberian Tuhan dan melewatinya degan lalai maka disebut qalbu dan pikiran yang tidak brsyukur kepada Tuhan.

Syukur jenis ini lebih tinggi derajatnya dari syukur lisan dimana manusia diajak untuk khusyu’ terhadap keesaan dan kebesaran Tuhan.

  1. Syukur Anggota Badan: Tingkatan ini biasa disebut syukur perbuatan. Yakni anggota badan berbuat dan berprilaku sesuai degan iradah dan kehendak Tuhan. Seperti melihat apa yg dianjurkan-Nya, melihat tanda-tanda keagungan Ilahi, melihat AlQur’an, Ka’bah, melihat Ulama Rabbani, melihat kedua orang tua degan penuh cinta dan…, semua ini termasuk syukur kepada Tuhan, begitu pula menahan pandangan untuk tidak mlihat yang diharamkan Tuhan, menahan pendengaran, lisan, tangan, dan kaki dari yang diharamkan-Nya. Jadi seluruh anggota badan yang merupakan nikmat-nikmat Ilahi kalau digunakan sesuai degan hukum agama maka termasuk syukur amali dan pelakunya termasuk orang-orang yang bersyukur.

 

Kufur Nikmat

Salah satu dari sifat-sifat buruk (sifat radzilah) dalam wujud manusia adalah Kufur Nikmat.

Kufur bermkna menutupi dan menyembunyikan. Dalam bahasa disebut kafir karena menyembunyikan benih dibawah tanah. Kafir juga disebut sebagai gelapnya malam karena segala sesuatu ditutupinya. Dan seseorang juga yang tidak bersyukur kepada Tuhan disebut kafir karena menutupi nikmat-nikmat Tuhan terhadap dirinya [Sihah Jauhari, maddah Kufr].

Sebagian manusia dalam hidupnya begitu sangat gelap sehingga mereka tidak melihat atsar (pengaruh) wujud Tuhan dan bahkan mengingkarinya. Mereka ini adalah orang-orang kafir Mutlak (murni kafir).

Terkadang sebagian manusia memiliki sedikit sisi gelap dalam hidupnya dan bahkan melihat fenomena-fenomena ciptaan Tuhan dan beriman kepada-Nya, akan tetapi mereka tidak melihat nikmat-nikmat Tuhan yang diberikan kepadanya dan juga mereka tidak tahu bahwa yang memberikan nikmat-nikmat tersebut dalam menjalani kehidupannya semuanya berasal dari Tuhan.

Dan sebagian manusia yang lain mmiliki perhatian terhadap nikmat-nikmat Tuhan yang telah diberikan kepadanya dan mengetahui bahwa nikmat-nikmat tersebut berasal dari Tuhan dimana Dia yang mengatur kebutuhan-kebutuhannya akan tetapi mereka tidak menjalankan nikmat-nikmat tersebut sebagaimana mestinya dan hanya menggunakannya sesuai degan keinginan hawa nafsunya.

Tingkatan-tingkatan tersebut di atas digolongkan dalam manusia kafir dimana pada tingkatan pertama disebut kufur terhadap wujud Tuhan, tingkatan kedua disebut kufur terhadap nikmat-nikmat Tuhan dan tingkatan ketiga disebut kufur dalam penggunaan nikmat-nikmat-Nya.