jump to navigation

Perjanjian Eksistensial Februari 17, 2015

Posted by makkawaru in Percikan Pemikiran.
add a comment

www.OldTribalRugs.comPerjanjian Eksistensial

Sebagian teolog dan filosof Islam kontemporer (seperti Ayatollah Jawady Amuly hf) memandang ayat mitsaq (perjanjian) berhubungan dengan tauhid fitri, dan menggambarkan bahwasanya manusia dalam suatu fase dan wadah khusus telah bersaksi akan keesaan Tuhan, rububiah Tuhan, dan kehambaan manusia. Dengan demikian maka bagi manusia tidak ada jalan untuk lalai dan lupa akan mitsaqnya dengan Tuhan, sehingga dia bisa berapologi untuk tidak mempertuhankan wajibul eksistensi.

Hakikatnya perjanjian di sini adalah suatu bentuk mitsaq takwini, bukan i’tibari (tasyri’i), yakni manusia berjanji pada Tuhan untuk menjadi muwahhid (hamba bertauhid) dan taat pada Tuhan serta tidak menyembah selain-Nya. Mitsaq ini, sebab dilakukan oleh seluruh manusia maka seluruh manusia pada hakikatnya memiliki kecenderungan tauhid pada Hak (tauhid fitri).

Ayat mitsaq dalam al-Qur’an terdapat dalam surah al-A’raf dan berbunyi: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi anak cucu adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu”? Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini,” atau agar kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya nenek moyang kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami adalah keturunan yang (datang) setelah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang (dahulu) yang sesat? (Q.S. al-A’raf [7]: 172-173.)

Penjelasan umum Kandungan ayat tersebut adalah, Tuhan dalam suatu fase dan wadah hakikat eksistensial manusia (fase dan wadah di sini bukan bermakna zaman dan tempat) mempersaksikan diri-Nya dan dalam kondisi itu manusia menyaksikan atas kenyataan hakikat dirinya yang bersaksi bahwasanya rububiah bagi Tuhan dan ubidiyah bagi dirinya. Tuhan dalam fase dan wadah syuhudi dengan manusia menjalin mitsaq dan memperoleh komitmen dari mereka dengan ungkapan dan gambaran: Apakah Aku ini bukan Tuhan kamu? Semua menjawab, mengapa tidak, Engkau adalah Tuhan kami. Dalam wadah ilmu tersebut, semua menerima rububiah Tuhan dan menerima kehambaannya.

Dalam perjanjian ini (transaksi), yang mengambil janji adalah Tuhan dan yang memberikan janji adalah seluruh manusia; syahid (saksi) perjanjian ini juga adalah manusia sendiri (jadi kontrak di sini terjalin dengan dua arah, kendatipun karena wadah dan medannya adalah takwini, bukan tasyri’i, maka tidak memunculkan permasalahan ikhtiar; sebab masalah ikhtiar manusia itu digagas dalam hubungannya dengan medan tasyri’i, dan ini berhubungan dengan pandangan teologis dan filosofis, tapi berhubungan dengan pandangan irfani mempunyai penjelasan tersendiri). Dalam ayat tersebut terdapat ungkapan “Asyhadahum ‘alâ anfusihim” (Tuhan menjadikan manusia saksi atas diri mereka) dan berkata kepada mereka: “Saksikanlah kamu berjanji atas rububiah Tuhan dan kehambaanmu. Kesaksian manusia yakni penyaksiannya atas hakikat dirinya. Penyaksian hakikat diri ini dalam terminologi filsafatnya tidak lain adalah kesaksian rabt wujudi (relasi keeksistensian) dan syuhud rabt wujudi ini adalah tahunya manusia bahwasanya seluruh dzatnya bergantung kapada Tuhan. Dengan kata lain, ketika manusia menyaksikan hakikat dirinya dalam kondisi tersebut, dia menemukan bahwa hakikat dirinya, bukanlah sesuatu yang lain, kecuali hamba Tuhan. Menyaksikan hakikat kehambaan tanpa menyaksikan rububiah Allah, adalah tidak mungkin; sebab manusia yang adalah hamba, hakikatnya hanyalah bergantung, fakir, dan rabt murni kepada Tuhan.

Jika hakikat manusia di wujud luar, hanyalah merupakan wujud relasi kepada Tuhan dan dia menemukan hakikat ini dengan ilmu huduri, maka niscaya ia juga dapat menyaksikan Tuhan dengan mata hati; sebab batin manusia, bukanlah sesuatu kecuali hanyalah dzat dan huwiyyah rabt kepada Tuhan dan Tuhan adalah penegak dan pemancar keberadaannya. Ketika manusia melihat hakikat dirinya dan juga menyaksikan Tuhan dengan penglihatan hati, dalam wadah syuhudi itu dia berikrar terhadap rububiah Tuhan dan kehambaan dirinya serta memberikan mitsaq pada rububiah Tuhan, dan saksi mitsaq itu juga adalah dirinya sendiri.

Mengapa harus ada mitsaq atau perjanjian? Lanjutan ayat tersebut (ayat 172) serta ayat selanjutnya (ayat 173) menjelaskan urgensi adanya perjanjian tersebut.

Jadi dengan adanya mitsaq, dan turunnya wahyu, serta adanya rasul batin yaitu akal, maka manusia sebagai makhluk pemilik ikhtiar, sepatutnya tidak lalai untuk merealisasikan kehambaan tasyri’inya dan menyembah Tuhan sang pemilik rububiah takwini dan tasyri’i.

 

Epistemologi Agama Februari 9, 2015

Posted by makkawaru in Wacana.
add a comment

 

EPISTEMOLOGI AGAMA

 

Defenisi dan Karakteristik Epistemologi Agama

         Epistemologi agama merupakan suatu bentuk makrifat derajat kedua, dimana seorang pengkaji dengan pandangan kesejarahannya melihat kepada makrifat-makrifat agama dan memberikan penjelasan tentang dasar-dasar representasi, pembenaran, dan aksiden-aksidennya. Untuk lebih jelasnya masalah ini perlu kami isyaratkan terlebih dahulu suatu bentuk pembagian universal dalam wilayah pembahasan epistemologi.

         Epistemologi dalam telaah universal dibagi atas dua jenis, epistemologi apriori dan epistemologi apesteriori.

  1. Epistemologi apriori: Bagian epistemologi ini membicarakan tentang wujud mental, ilmu, dan kognisi. Dengan kata lain, subyek dari epistemologi ini adalah eksistensi dan esensi dari ilmu. Adapun predikat-predikat yang dipredikasikan atas subyek epistemologi ini, seperti kenonmaterian ilmu, kematerian ilmu, kesatuan ‘âlim (yang mengetahui) dan ma’lûm (yang diketahui), kualitas mental, dan lainnya. Misalnya dikatakan: wujud ilmu adalah non materi, atau esensi ilmu adalah kualitas mental, atau ilmu dibagi atas hudhuri dan hushuli serta contoh-contoh lainnya. Jenis epistemologi ini disebut epistemologi sebelum ilmu-ilmu teraktual atau disebut juga epistemologi filosofis. Perlu juga disebutkan bahwa jenis epistemologi ini mempunyai dua tema bahasan utama, yaitu ontologi ilmu dan penyingkapan ilmu. Yakni, terkadang pembahasan berbicara tentang wujud dan mahiyah ilmu dan terkadang pembahasan berhubungan dengan penyingkapan makrifat-makrifat terhadap realitas dan hakikat ilmu.
  2. Epistemologi apesteriori: Jenis epistemologi ini merupakan kebalikan dari jenis epistemologi pertama, ia muncul sesudah merealitas dan mengaktualnya ilmu dan makrifat manusia serta tidak memperhatikan eksistensi atau esensi ilmu sebagai realitas dalam akal dan mental manusia; akan tetapi subyek-subyeknya adalah totalitas makrifat-makrifat dan proposisi-proposisi atau konsepsi-konsepsi serta tasdik-tasdik yang maujud dalam berbagai ilmu. Dengan kata lain, subyek dari golongan epistemologi ini adalah tipe dan jenis makrifat.

 

         Selanjutnya poin ini perlu diketahui juga bahwa epistemologi memiliki tinjauan terhadap seluruh proposisi-proposisi ilmu, baik proposisi-proposisi itu sesuai dengan realitas ataupun tidak mempunyai kesesuaian sama sekali; dengan kata lain, seluruh pembenaran-pembenaran dan pengingkaran-pengingkaran proposisi-proposisi ilmu, ketika menjadi hal yang diterima oleh para ilmuan dari disiplin ilmu akan menjadi bahan telaah serta kajian dalam epistemologi.

                         Untuk penjelasan yang lebih luas berkenaan masalah ini perlu kami isyaratkan juga pembagian lain dari pengetahuan dan makrifat manusia. Pengetahuan dan makrifat manusia dalam suatu bentuk pengelompokan dikelompokkan menjadi dua, pengetahuan dan makrifat derajat pertama dan pengetahuan dan makrifat derajat kedua. Pengetahuan dan makrifat derajat pertama adalah makrifat-makrifat yang membahas tentang hakikat-hakikat tertentu; sebagai contoh, dalam fisika dibahas subyek-subyek seperti materi, energi, gerak, kekuatan, cahaya dan sebagainya, dan dalam kimia dibahas dan diteliti tentang unsur-unsur; akan tetapi makrifat-makrifat derajat kedua berbicara tentang pengetahuan dan makrifat derajat pertama; seperti filsafat ilmu fisika (philosophy of physics), dimana yang dibahas dan ditelaah didalamnya adalah ilmu fisika itu sendiri. Atau secara global filsfat ilmu (philosophy of Science) dari ilmu-ilmu eksperimen, dimana yang dibahas dan dikaji berkaitan aspek ilmu mempunyai suatu esensi kesejarahan serta berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah statmen-statmen ilmu dapat menerima pembuktian ataukah menerima pembatilan? Apakah proposisi-proposisi ilmu bersifat tetap atau berubah? Dan pertanyaan-pertanyaan lain serupa itu. Dengan memperhatikan uraian-uraian di atas menjadi jelaslah bahwa filsafat setiap ilmu berada dalam kevertikalan ilmu itu sendiri, tidak dalam kesejajarannya atau lebih utama darinya. Oleh karena itu topik-topik ilmu dan filsafat seperti filsafat akhlak, filsafat kalam (teologi), filsafat politik, filsafat mate-matika dan juga epistemologi agama, semuanya dipandang sebagai bagian dari pengetahuan dan makrifat derajat kedua atau epistemologi apesteriori.

         Subyek epistemologi agama adalah makrifat agama, dan makrifat agama merupakan suatu konsep umum yang dipredikasikan atas seluruh proposisi-proposisi yang diambil dari syariat. Oleh karena itu sebagai konklusinya, pengetahuan dan makrifat fikh, teologi, tafsir, hadits, dan akhlak, semuanya terhitung sebagai makrifat agama. Akan tetapi tidak semua makrifat-makrifat kalam dapat dihitung sebagai makrifat agama; sebab tidak semua pembahasannya diambil dari syariat, sebagaimana dapat disaksikan pembahasan tentang Ilâhiyyât bil-ma’na al-akhash (filsafat ketuhanan) dalam kitab-kitab kalam. Namun di samping itu pengetahuan dan makrifat rasional yang berhubungan dengan agama harus dipandang sebagai bagian dari makrifat agama.

 

Penjelasan Seputar Konsep Agama

                         Untuk memahami lebih dalam pembahasan epistemologi agama harus terlebih dahulu dijelaskan dan didefenisikan konsep dan pemahaman agama sehingga dapat diketahui secara baik kedudukan dari epistemologi tersebut. Agama (dîn) dalam bahasa Arab bermakna ketaatan, balasan, tunduk, dan menyerah; tetapi defenisi lughah (kosa kata) agama dalam bentuk pembahasan ini tidak memecahkan masalah; oleh karena itu terpaksa kita mendefinisikan agama secara peristilahan. Istilah agama dalam zaman kita ini sangat sulit menerima definisi; sebab definisi-definisi yang diutarakan terkadang sangatlah luas, yang mana juga memberi jalan masuk hal-hal yang berbeda pada batasannya, sehingga meliputi ideologi-ideologi materialis seperti marxisme, atau ia sedemikian terbatasnya sehingga tidak menghimpun semua individu-individunya. Problem mendasar dalam pembahasan ini, apakah agama-agama yang ada ini mempunyai perkara yang sama sehingga berasaskan perkara yang sama itu dapat diutarakan suatu definisi baginya ataukah tidak?

                         Definisi-definisi agama yang beragam telah diutarakan dalam bentuk pembahasan tersendiri; sebab itu dalam pembahasan ini hanya akan diisyaratkan definisi-definisi dari sebagian penulis; oleh karena itu di antara definisi-definisi agama yang dipandang perlu diungkapkan dalam pembahasan ini adalah:

  1. Dari kitab dan sunnah ;
  2. Rukun-rukun, prinsip-prinsip, dan cabang-cabang agama yang turun atas nabi ;
  3. Teks-teks agama, keadaan-keadaan dan prilaku-prilaku pemimpin-pemimpin agama (para nabi dan pembawa agama) ;
  4. Kitab, sunnah, dan sejarah kehidupan pemimpin-pemimpin agama (para nabi dan pembawa agama) .

         Definisi-definisi ini, di samping terdapat pertentangan-pertentangan dalam ungkapan, juga memiliki kritikan seperti di bawah ini:

Kritikan pertama: Penulis dalam ungkapan-ungkapannya terkadang bermaksud mendefinisikan agama dan terkadang bermaksud menedefinisikan syariat; dan bagi orang-orang yang ahli dalam ilmu kalam, tidak tersamar bagi mereka bahwa kedua istilah ini adalah berbeda; sebab di samping isytarâk lafzhi (equivocal) dalam kata syariat, juga syariat dimutlakkan terhadap cabang-cabang agama dan mempunyai makna yang lebih khusus dari agama.

Kritikan Kedua: Penulis mencampur adukkan antara agama dan naskah agama; agama adalah sekumpulan hakikat-hakikat dan nilai-nilai, sementara naskah dan teks agama adalah yang menberitakan dan mengisahkan tentang hakikat-hakikat dan nilai-nilai tersebut. Oleh sebab itu nisbah antara teks agama dan agama, adalah nisbah antara yang memberitakan dan diberitakan.

                         Sebagai konklusi, definisi agama yang menjadi pilihan kita adalah sekumpulan hakikat-hakikat dan nilai-nilai yang sampai ke tangan manusia dari jalan wahyu (dalam bentuk kitab dan sunnah) yang bertujuan memberi hidayah kepada manusia.

 

Makrifat Agama

                         Berdasarkan definisi-definisi yang beragam dari agama maka pengertian tentang makrifat agama juga menemukan perbedaan-perbedaan. Penulis kitab “Qabz wa basth teorik syariat” dalam ungkapannya yang berbeda-beda menjelaskan dan mendefenisikan istilah makrifat agama dalam bentuk yang bergam; terkadang pengertiannya adalah pemahaman agama atau pemahaman syariat dan terkadang pengertiannya adalah pemahaman manusia tentang syariat serta di dalam banyak kesempatan ia menyebutkannya dengan pengetahuan agama, yang pada tulisan ini kami akan isyaratkan sebagian dari pernyataan-pernyataan tersebut:

“Makrifat agama dalam definisi kami adalah identik dengan tafsir syariat yang dihasilkan dari pemahaman kalam Tuhan dan ucapan-ucapan pemimpin-pemimpin agama” (para nabi as dan pembawa agama). “Maksud kami dari makrifat agama adalah sekumpulan dari proposisi-proposisi yang dihasilkan dari jalan khusus dengan bantuan media khusus dengan memperhatikan terhadap teks-teks agama dan kondisi-kondisi serta prilaku-prilaku pemimpin-pemimpin agama”. “Makrifat agama, yakni pengetahuan dan makrifat yang dihasilkan dari pemahaman kitab dan sunnah, sejarah kehidupan pemimpin-pemimpin agama, pemahaman terhadap prinsip-prinsip dan dasar-dasar serta rukun-rukun dan cabang-cabang agama; semua ungkapan kami dalam tulisan ini tentang makrifat agama tidak lain adalah makrifat-makrifat yang digunakan dari kitab dan sunnah itu sendiri…. ”

                         Definisi-definisi penulis kitab ini tentang makrifat agama, di samping terdapat pertentangan dan perbedaan di antara definisi-definisi itu sendiri, pada dasarnya lebih banyak kembali pada makrifat teks-teks agama dari pada makrifat agama. Tapi pembahasan istilah-istilah ini tidak terlalu urgen untuk dipermasalahkan, yang sangat penting bagi kita adalah pemahaman unitas dari istilah-istilah yang ada sehingga kita aman dari kerancauan musytarak lafzhi (equivocal).

 

Iman dan Makrifat Agama

                         Salah satu yang menjadi dasar dan landasan epistemologi agama adalah kejelasan perbedaan dan pemisahan antara iman dan makrifat agama, sehingga dengannya kategori iman dapat dikeluarkan dari fokus pembahasan. Oleh karena itu kita harus juga membawakan sekelumit uraian dan penjelasan tentang iman dalam tulisan ini.

                         Setiap maujud yang memiliki jiwa (ruh) baginya keterikatan-keterikatan; manusia juga di samping memiliki keterikatan terhadap materi, ia mempunyai keterikatan dan ketertarikan kepada pengetahuan, keindahan, politik, dan kemasyarakatan. Iman juga merupakan suatu bentuk keterikatan final, dimana seluruh maklumat-maklumat lain berada di bawah radius pancarannya atau yang lain tertolak karenanya; sebagai contoh, keterikatan final dan fanatisme nasionalisme ekstrim terhadap bangsa. Oleh karena itu, dari jalan ini seluruh unsur-unsur kehidupan person di dalam prilaku dan amal menyatu dengan iman. Koridor dan batasan iman untuk setiap orang merupakan areal yang disucikan; yakni keterikatan final manusia yang pada akhirnya akan berubah menjadi suatu keterikatan suci dan saat itulah ia akan melahirkan unsur keberanian, keperkasaan, dan kecintaan.

                         Perkara yang berhubungan dengan iman selalu berupa sesuatu atau individu tertentu; maka dari itu, pribadi mukmin dinisbahkan terhadapnya (sesuatu atau individu) harus mempunyai pengetahuan dan makrifat; itupun dalam bentuk makrifat yaqînî (disertai keyakinan); sehingga ia dapat dikategorikan sebagai hal yang bergantung dan berhubungan dengan iman. Sebab iman terhadap sesuatu yang tidak diketahui secara mutlak adalah tidak mungkin, akan tetapi terkadang kepercayaan dalam diri akan menyebabkan lahirnya iman, tapi inipun pada hakikatnya dampak dari keyakinan.

                         Adapun kekhususan-kekhususan dari iman di antaranya; senantiasa bergerak melakukan pencarian, menyempurna, melemah, dan menipis. Kondisi-kondisi iman ini bisa saja dipengaruhi oleh faktor-faktor pengetahuan, psikologi, politik, kemasyarakatan dan lain-lain. Sampai di sini telah jelas bahwa iman merupakan kategori qalbu yang diperoleh dari dua unsur, yaitu ilmu dan loyalitas, dan makrifat agama sebagai subyek dari epistemologi agama, adalah ilmu dan pengetahuan para ulama agama yang dihasilkan lewat metode penelitian atau ilmu yang diperoleh dari jalan merujuk kepada akal dan sumber-sumber agama.

Surah Al-Ashr Februari 7, 2015

Posted by makkawaru in Tafsir.
add a comment

11Surah Al-Ashr (Masa)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيم 

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

وَ الْعَصْر Demi masa.

إِنَّ الْإِنْسانَ لَفي خسر‏ Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.

إِلاَّ الَّذينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ وَ تَواصَوْا بِالْحَقِّ وَ تَواصَوْا باالصبر  Kecuali  orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, saling nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran, dan saling nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.

 

Bismillahirrahmanirrahim

Wal-Ashr, demi masa: Demi waktu dan zaman kedatangan Rasulullah Saw, dimana waktu dan masa tsb adalah masa terangnya kebenaran dalam mengalahkan gelapnya kebatilan, masa menebarnya tauhid dan keadilan serta surutnya syirik jahiliah dan kezaliman.

Waktu dan zaman adalah dimensi realitas yang terjelma dari dimensi gerak, sedang gerak sendiri adalah dimensi yang inheren dengan alam tabiat dan materi itu sendiri. Dalam artian alam materi tidak tercipta terlebih dahulu tanpa gerak lantas gerak tercipta kemudian padanya. Dengan demikian zaman juga senantiasa menyertai alam tabiat ini seiring dengan gerak tidak pernah lepas dengan alam tabiat, karena zaman tidak lain adalah kuantitas daripada gerak.

Manusia sebagai makhluk tabiat dan fisik (disamping memliki dimensi batin)tidak luput dari pergerakan dan zaman, baik dalam bentuk individualnya maupun dalam bentuk sosialnya. Rasulullah Saw dalam alam tabiat memiliki kenyataan individu yang merupakan tersempurnanya wujud individu, dan karena beliau berada pada suatu zaman tabiat tertentu maka kesempurnaan diri individunya tersebut menjadi cahaya tersempurna hidayah Ilahi mulai dari kemunculannya hingga zaman dan waktu selanjutnya, dan pergerakan ini mengarah pada terwujudnya suatu tatanan tersempurna pada suatu zaman tertentu, yakni sesuai dgn keyakinan kaum Muslimin adalah zaman kebangkitan manusia tersempurna terakhir, yakni Imam Mahdi Ajf. Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad.

 

Innal Insana lafi khusr, Sesungguhnya manusia niscaya dlm kerugian. Khusr artinya kerugian, kerugian yg dpt mengakibatkan seluruh modal yg melekat pada setiap diri manusia sirna tanpa tersisa. Ibaratx seorang pedagang es menggelar barang daganganx di bawah terikx matahari, mk apa yg akan terjadi thd brg daganganx yg menjadi modal hidupx? Modal manusia adlh fitrahx yg suci, fitrahx kpd penciptax, fitrahx pada sifat kesempurnaan, dan fitrahx pada keindahan dan kebaikan. Manusia… hanya punya sekali kesempatan dlm meningkatkan kesempurnaan fitrahx, itupun di alam tabiat bersama pergerakan tabiatx, krn itu ia harus berhitung waktu dan zaman, jangan sampai zaman berlalux lbh baik dari zaman akan datangx, dan tertimpa kerugian demi kerugian, hingga zaman tabiatx habis dan fitrahxpun penuh terlumuri kesalahan, kelalaian, dan kealpaan pd Tuhan. Sungguh merugi dan malang jika hal ini menimpa diri kita.

Illalladzina amanu wa amilusshalihaat, kecuali org2 beriman dan beramal shaleh. Semua manusia merugi dgn berlalux waktu2 yg diperuntukkan baginya, seruan hidayah umum Tuhan senantiasa menghentak fitrahx pada keimanan tauhid dan akhlak karimah serta perbuatan baik. Mahiyah iman berbeda dengan mahiyah ilmu, meskipun keduanya adalah dimensi batin manusia. Betapa tidak, sangat banyak manusia yg secara pengetahuan telah sampai pada kebenaran tauhid tp hatix tertutup utk mengimanix, krn itu iman bukanlah perbuatan akal, tapi ia adalah perbuatan qalbu, meskipun tentunya iman benar tdk bisa dipisahkan dari pengetahuan dan makrifat yg benar pula. Tuhan mengecualikan kerugian pada diri manusia dengan dasar pertama adalah memiliki keimanan yg benar terhadap-Nya, terhadap Nabi-Nya dan hari akhirat, dan kedua, keimanan ini mesti dibarengi dengan amal saleh, karena dengan dua aspek inilah manusia bisa mengambil manfaat dari pergerakan waktu tabiatx dgn melakukan pergerakan spiritual, transendental, dan maknawi, sehingga di akhir perjalanan waktunya ia dpt menggapai keberuntungan dan kebahagiaan ukhrawi.

Watawashau bilhaqq, watawashau bisshabr, dan saling menasehati terhadap hak dan kebenaran, serta saling menasehati terhadap kesabaran. Tawashau dari segi lughah adl bab tafaul, yakni kerja dan perbuatan tdk hanya dari satu arah dan satu orang, tapi dari dua arah dan minimal dua orang. Sebagaimana kita ketahui manusia adl makhluk sosial yg tdk terlepas dari interaksi satu dan lainx, dan dgn jalan demikian mrk memenuhi seluruh kebutuhan hidupx. Salah satu kebutuhan fundamental manusia adl kebutuhan dlm bentuk maknawiah, sebagaimana wujudx yg juga memiliki dimensi batin, non materi, dan maknawiah juga. Saling menasehati kpd hak adl suatu btk pemenuhan kebutuhan thd perkara batin ini, baik itu dlm btk ta’lim dan ta’allum utk memperoleh makrifat yg benar, maupun dlm btk mauizah utk mempertahankan keyakinan benar dalam dada, serta dlm bentuk saling memotivasi dalam menegakkan hak dan menjalankanx.

Tentang saling menasehati kpd kesabaran dlm hal ini lebih umum dari kesabaran pd ketaatan, kesabaran dlm meninggalkan maksiat, dan kesabaran dlm menghadapi musibah.

Tidak diragukan kondisi jiwa kebanyakan manusia dlm menghadapi berbagai perkara dan peristiwa adl berubah-ubah, kebanyakan kita tdk konstan dlm ketaatan, menahan diri dari maksiat, menghadapi musibah besar dan kecil, semangat menuntut ilmu, mencari rezki halal, mendidik keluarga, dan berbagai hal dan peristiwa lainnya. Olh krn itu utk memelihara kondisi stabil keimanan, kebaikan, dan maknawiah yg kita dapatkan dari saling menasehati pada hak, maka kita juga tetap butuh komunitas yg terbangun di dalamx semangat saling menasehati kpd kesabaran, krn dengan jalan inilah setiap diri kita bisa senantiasa bertahan di jalan pengabdian pada agama Tuhan.

Sebagai penutup: hidup dlm perjalanan waktu dan zaman dlm alam tabiat adl modal dasar dlm meraup kebaikan dan kesempurnaan yg ujungx adl kebahagiaan abadi, dan syarat mendasarx adl keimanan yg benar dan amal saleh yg tdk hanya individual, sebab manusia sbg makhluk sosial hanya dengan bersosial bisa mendapatkan kebaikan banyak, dan salah satu jalanx dlm medan ini adl saling menasehati pd hak dan saling menasehati pd kesabaran. Wallahu A’lam